Meraih
Impian
Kala bulan bercahaya dengan sinarnya yang terang tapi tak
menyilaukan ,diiringi lambaian anggun pohon kelapa yang di terpa siulan angin malam Terusik
lamunanku saat terngiang sebaris kata sederhana ayah yang selalu berulang
menelusup ke telingaku, “Nanda, kamu pasti bisa!” Kata sederhana ayahku laksana dentuman meriam di rongga dadaku.
Setiap kuingat kata-kata itu, semakin berat beban yang kurasakan, terlebih aku
terlahir sebagai anak sulung dari lima
bersaudara. Tidak mudah bagiku untuk menjadi sulung.Mengingat tugas yang harus
kuemban sebagai panutan adik-adikku. Kurasakan pula beban kedua orang tuaku
yang semakin menjadi-jadi.. Ayah, di luar segala kewajibannya sebagai seorang PNS,
juga terlibat aktif di dunia jurnalistik dan organisasi. Tidak mengherankan jika bunda harus terpaksa turun tangan untuk menopang keuangan
keluarga dengan membuka sebuah warung kecil-kecilan.
Teringat jelas bayangan
itu,, ketika keringat dingin membasahi tubuh mungilku,ketika otakku terpenuhi
dengan rumus-rumus yang mencekam pikiranku
, waktu itu saat diriku mengerjakan butiran-butiran masa depanku.Padatnya
aktivitas ayah dan bunda terekam kuat
dalam benakku ketika beliau banting tulang, siang malam, panas hujan, bahkan
petir mereka terpa demi mencari selembar uang untuk membiayai kelulusanku dari
Almamaterku. Kerja keras seakan menjadi menu wajib bagiku untuk membalas
keringat dan cucuran darah mereka.
Hatiku berdetak kencang
ketika detik-detik pengumuman tiba,tak ku sangka namaku tertera di selembar
kertas putih urutan teratas. Terlintas wajah kedua orang tuaku dengan senyuman
lebarnya yang seakan-akan mereka turut berbahagia atas keberhasilanku.Saat itu
juga semangatku berkobar dan terucap
janji untuk membagiakan kedua orang tua serta adik-adikku.Namun, ada hal yang
menjadi titik lemahku. Dua kali tangisku pecah ketika cita-citaku tak
tersampaikan. Pertama, ketika gagal masuk fakultas kedokteran karena faktor
biaya. Kuingat kata-kata bunda di telingaku. “Kita tak cukup uang untuk kamu
masuk Fakultas Kedokteran. Sabar ya, Nak!”, ucap Bunda lembut, tetapi pasti.
Kedua, ketika gagal mendaftar ke STPDN karena tinggi badan kurang. Kegagalan
itu tentu saja membuatku terluka.Aku sadar aku terlahir ditengah keluarga yang
cukup sederhana. Ayah dan bunda tiada putus- putusnya membangkitkan diriku
hingga kedua kakiku benar-benar mampu berpijak kembali.
Untuk mengobati luka
hatiku, kuputuskan untuk membantu menjaga warung kecil milik bundaku.Sambil
menjaga warung, sedikit demi sedikit aku
belajar dari ketegaran bunda dalam menghadapi kesulitan hidup. Tak jarang bunda
tidur larut karena harus menyambung potongan perca menjadi sebuah bed cover
untuk dijua dan dititipkanl di sebuah toko swalayan. Tak telalu penting bagiku
berapapun lembaran rupiah yang dihadirkan bunda dari jerih payahnya namun yang
terpenting bagiku tiada pernah putus doaku kepada Sang Khalik agar bunda
senantiasa dikaruniai kesehatan lahir dan batin.
Setiap hari seusai sembahyang ku panjatkan
banyak do’a untuk keluargaku dan masa depanku. Akhirnya salah satu doaku
terkabul. Suatu hari ayah memutuskan untuk berhenti bekerja dan berorganisasi.
Ayah mulai melirik dunia usaha. Sebagai langkah awal, ayah melahap buku-buku
sederet profil pengusaha sukses, sebut saja Bob Sadino, Bill Gates, Steve Jobs,
Richard Branson, Donald Trump, dan Elang Gumilang yang membangkitkan semangat
Ayah untuk berbisnis. Benih pohon bisnis tumbuh pula dalam diriku, terlebih setelah aku menyerap isi
beberapa buku yang menyampaikan kisah perjalanan pengusaha sukses.
Dua kegagalan yang lalu
berakhir dan terbayar ketika aku diterima di universitas ternama di kota ku
dengan jurusan bahasa Inggris. Kutekuni
masa pendidikan tinggi dengan sepenuh hati. Dan kelak aku ingin menjadi seorang
dosen yang sukses, sehingga dapat membantu ekonomi keluarga kecilku. Namun kendala
finansial mendorongku untuk merambah ke dunia
kerja di samping kuliah.namun hal itu tidak menyurutkan tekad ku. Pucuk dicinta ulam tiba. Tak ku sangka Kak
Ica, saudara sepupuku, datang kepadaku dan menawariku sebuah bisnis “Nanda, di sebelah toko Bunda ada kios yang
dijual. Bagaimana kalau kita patungan
untuk membeli kios itu, lalu kita jual pakaian di sana?” kata Kak Ica. Ia mengajak berpatungan untuk
membeli kios itu. Dan akupun setuju dengan ajakan Kak Ica.Kami mulai berbisnis
pakaian dengan modal uang pinjaman dari
ibu. Setelah sekian lama aku dan kak Ica menjalankan usaha ini, banyak sekali
cobaan dan rintangan yang harus kami jalani, mulai dari sepi pengunjung sampai
kehabisan dana untuk membeli kembali barang dagangan. Tapi hal tersebut kami
lewati dengan sabar dan pantang menyerah. Tidak kusangka, hal tersebut membuat usaha
kami menuai hasil yang gemilang.
Suatu hari bunda
berkunjung ke toko kecilku dan dia memuji hasil kerja kerasku, “Wah, ternyata
Nanda sudah meraup banyak untung nih”. Tetapi kesibukanku berbisnis tidak melemahkan prestasi di ranah
akademis. Aku berhasil mempertahankan semuanya dengan hasil yang memukau.
Seiring waktu, jaringan
bisnisku meluas. Padatnya jadwal ceramah ayah sebagai motivator mendorongku
untuk membantunya. Hal tersebut membuatku
berkiprah dalam dunia event organizer. Lahan bisnis ini menuai sukses
yang tergolong gemilang. Jaringan konsumen luas semakin membuka peluang untuk
berkiprah di bidang lain. Usaha penjualan tiket pesawat pun kulakoni hingga
membuahkan beberapa kantor cabang di berbagai kota di negeri ini
Kesuksesan ini tidak
patut membuatku angkuh, terutama di hadapan Tuhan. Hanya karena ridha-Nyalah
aku dapat meraih semuanya.Aku sadar betapa pentingnya peran orang tuaku
dalam kehidupanku. Tidak luput bimbingan dan motivasi dari kedua orang tuaku
turut membuatku tegar dalam berbagai kesulitan yang ku tempuh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar